RANU
“Mama cuma kepikiran kamu terus, Nu. Mungkin ini yang bikin Mama sakit-sakitan terus. Kamu paham, kan?”
Biasanya gue cuma ngebales omongan nyokap gue dengan suara pelan, “Iya, Ma.” Gue bilang begitu biasanya sekadar buat menenangkan beliau karena gue sendiri nggak tahu mesti gimana lagi.
Tapi ketika nyokap gue bilang begitu, dengan air mata yang menetes di pipinya, perasaan gue sakit banget. Hati gue rasanya ikut terluka. Saat itu gue bisa ngeliat dengan jelas keriput di wajah nyokap. Beliau udah makin tua, dan gue nggak tahu kapan gue bisa menerbitkan senyum di wajah beliau—sementara waktu makin terbatas. Gue justru kasih dia banyak beban dengan “kabur” dari pertanyaan-pertanyaan beliau. Ditambah lagi sekarang umur gue 33 tahun—literally thirty three karena sekarang merupakan hari ulang tahun gue.
Damn, it’s getting harder ketika umur elo udah kepala tiga kayak gue.
Cut it off, I should be happy in my birthday trip in Bangkok now. Gue udah mengalokasikan jatah cuti, pesen tiket murah meriah dan bisa dapet Thai Airways buat pulang pergi—yang tentunya direct flight. Lagi pula jajanan di sini kan enak-enak, dan kulineran dalam short escape ini bakal menyenangkan—bahkan ini adalah salah satu tempat yang ada di wishlist gue untuk gue datengin lagi. Gue pernah ke Bangkok beberapa tahun lalu bareng temen-temen di kantor lama, tapi rasanya nggak puas. Itu pula alasan gue balik ke negara yang waktu tempuh naik pesawatnya nggak terlalu lama dari Jakarta ini, padahal gue pun udah sering bolak-balik Eropa, tapi kota ini punya daya tarik tersendiri.
Better, gue ke sini sama sosok yang paling mengenal gue, dan juga gue sayang.
Sayang? Do I still love—
Darn, gue nggak tahu perasaan gue ke Oki sekarang. Yang jelas, gue nggak pernah mau kehilangan dia. We are life partner since forever. Dia teman hidup gue. Dia teman di antara semua jenis teman: teman saat senang, teman saat susah, teman nonton, teman bercanda, teman ngobrol, teman bermusik, teman menyalurkan hobi, teman seks… teman… teman segalanya.
Tapi omongan nyokap bikin gue resah akan hubungan gue sama Oki.
Hal itu seolah ngasih tahu gue kalo ada hal yang mesti gue bereskan, ada hal yang mesti gue korbankan, karena nggak mungkin gue ngebiarin nyokap gue berlama-lama dalam keadaan kayak begini, sementara gue sendiri nggak pernah tahu umur beliau sampai kapan.
Dan momen ketika nyokap gue menangis itu selalu berkelindan di benak gue—terus-menerus. Bahkan gue nggak bisa mengenyahkan ekspresi dan tangisan nyokap gue di hari yang mana mestinya gue bahagia!
“Ada sesuatu yang lagi lo pikirin, ya?” tanya Oki yang berjalan di belakang gue.
Sumber: Zastavki
OKI
Ranu mengedikkan bahu dan merespons, “Ya namanya kita hidup, pasti ada aja yang dipikirin, Ki. Apalagi gue. You know me-lah…”
Aku mendengus sambil terus ikut mengikutinya berjalan. Aku merasa ada yang Ranu sembunyikan. Aku memang bukan cenayang, tapi menjadi pasangan Ranu nyaris tiga tahun membuatku tahu gestur dan gerak-geriknya. Bahkan saat di pesawat dalam penerbangan ke Bangkok, dia jarang sekali menatapku saat berbicara. Dia fokus menonton serial di ponselnya ketimbang menikmati entertainment flight. Bahkan sejak kami bertemu di Bandara Soekarno-Hatta, gesturnya tampak ogah-ogahan merespons apa yang kukatakan.
Atau aku saja yang berlebihan, mengingat aku merindukan sosoknya yang tidak kutemui sejak sebulan lalu karena aku “kabur” ke kampung halamanku di Mojokerto? Entahlah, tapi aku merasa dia berbeda, tapi kini aku tidak mau mencari tahu. Aku tidak mau merusak kebahagiaannya—karena ini hari ulang tahunnya. Kalau kutanya, dia pasti bakal bilang agar aku berhenti komplain karena dia adalah tipe overthinking dan hal itu membuat mood-nya berantakan.
“Mau beli thai tea dulu nggak?” tanya Ranu ketika melihat stan ChaTraMue, ketika kami keluar dari peron MRT. Kami memang hendak pergi ke Chatuchak untuk membeli beberapa barang dan kulineran dengan daftar yang sudah kami catat.
Aku mengangguk setuju. Ini pertama kali aku ke Bangkok, dan rasanya kota ini sangatlah terik. Terus terang aku kegerahan—apalagi Ranu yang tidak terbiasa akan panas. Jadi, membeli thai tea rasanya hal tepat.
Bangkok benar-benar terasa beringsang. Belum lagi masker yang mesti kugunakan karena COVID-19 mulai mewabah di negara ini—menurut berita sudah sekitar dua puluh orang yang terjangkit di sini per awal Februari—membuatku tidak nyaman karena kegerahan. Belum lagi tiap kali naik turun MRT, bahkan keluar masuk mal, sudah paranoid lebih dulu karena aku—dan juga Ranu—bakal membersihkan tangan kami dengan hand sanitizer yang tersedia untuk publik.
Pengalaman ini benar-benar berbeda dengan pengalaman kami traveling ke negara-negara sebelumnya.
“Lo mau pesen rasa apa?” tanya Ranu.
“Gue thai tea biasa aja,” jawabku sambil tetap melihat-lihat daftar minuman sebelah kasir. Kebiasaanku, selalu memesan menu normal untuk pertama kali.
Ranu mengangguk lalu memesan dua thai tea pada petugas. Tidak lama, pesanan kami jadi dan Ranu memberikannya satu untukku.
Tanpa berbicara sepatah kata pun, Ranu berjalan mendahuluiku bermodalkan GPS untuk tiba di tempat tujuan. Bahkan kali ini masih tanpa melihat mataku. Hal itu memberikan tanda tanya di benakku, apakah mungkin dugaanku benar kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan?
0 Comments