Segenap Lancung

KENIKMATAN berbalut rasa perih yang terjadi di diriku mungkin adalah batas toleransi penyerahan diriku terhadap seseorang. 

Ketika aku memasrahkan diri, itu berarti penerimaan. Yang mana mengindikasikan aku sudah mengetahui kurang dan lebih dari dirinya. Bukan sekadar tahu, tapi aku juga siap merengkuh hal-hal itu.

Sayangnya, lagi-lagi sikapku yang bodoh itu membuatku terjerembap dalam kekecewaan.

“Aku kan lagi berusaha dekat sama kamu.”

Berusaha dekat.

Berusaha dekat?

Dengan segala lika-liku yang menurutku harusnya jelas tersirat maupun tersurat, dia hanya bilang kami masih dalam tahap penjajakanberusaha dekat.

“Aku makin lama makin takut sama kamu. Kamu terlalu mandiri buat aku,” katanya lagi.

Aku tidak tahu mana yang lebih dominan yang sedang kurasakan. Entah kekecewaan, kemarahan, atau kesedihan? Yang jelas aku tidak bisa menerima kata-kata itu. Satu-satunya yang bisa kujadikan respons defensifku adalah tersenyum sinis menatap langit-langit.

Otakku melanglang, menggali memori-memori yang sudah kualami bersamanya. Apa sebenarnya yang sudah kulakukan? Apa sebenarnya kami ini?

Yang aku tahu pasti hanya dia telah memanipulasiku untuk mendapatkan keduniawian yang candu.

Ketika sudah bisa berpikir rasional, aku pun berpikir.

Aku dianggap mandiri hanya karena aku dapat memperjuangkan hak-hakku hidup? 

Aku dianggap mandiri hanya karena aku bisa mengontrol hidupku dengan baik?

Aku tidak salah dengar, kan?

Sumber: Galerie Loft

Rasa kalut menjalariku. Aku sudah menembus batas-batas kewajaranku untuknya, tapi ternyata dia hanya menganggap hubungan kami sekadar dua orang yang sedang berusaha dekat.

Aku ingin berteriak sekaligus menangis. Otakku pun tidak bisa berpikir jernih.

Sebenarnya tadi memang ada pertengkaran kecil. Kemudian kami membahasnya, lalu pembahasan tersebut melebar ke arah ini sampai akhirnya dia bilang, “Ini udah tiga bulan lho aku berusaha dekat sama kamu.”

Perkataan darinya yang tadi kudengar dengan serius dan saksama, yang ingin kubalas dengan hati-hati dengan menyiapkan perkataan-perkataan yang tidak setajam biasanya kulontarkan… semuanya menguap.

Kata-kata itu hilang, tergantikan dengan rasa kecewa yang mencabik.

“Daripada kamu pendam begitu, mending langsung diomongin aja,” ujarnya karena aku tidak berkata-kata.

“Nggak,” balasku. Kubilang demikian karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Memang aku bisa bilang apa padanya? Mengatakan aku merasa kecewa? Itu pun terasa kurang tepat karena di lubuk hatiku ada amarah yang membakar dan kesedihan yang berkelindan.

“Kamu nulis apa sih?” tanyanya, masih menuntut penjelasanku. “Kita kan seharusnya komunikasi.”

Aku hanya mengedikkan bahu. Tidak tahukah dia bahwa perkataannya sangat melukai segala hal yang ada di benakku? Tidak tahukan bahwa selama ini dia selalu ingin jadi pusat semesta? Sadarkah dia bahwa dunia ini luas dan dia bukanlah satu-satunya orang yang harus diterangi cahaya paling terang?

Maka, aku hanya bisa bungkam.

Aku tidak tahu respons apa yang lebih tepat daripada berdiam diri dan menuliskan ini di notes ponsel.

Tidak mendapati respons dariku, dia mendesah berat. Seolah diamku membuat perasaannya guncang.

Tahukah dia perasaanku lebih terguncang dengan kalimatnya, yang menyatakan bahwa hubungan kami selama ini berusaha dekat?

Namun, memang aku yang bodoh. 

Yah, lagi-lagi aku dan kebodohanku. 

Aku dan keimpulsifanku.

Padahal sejak awal aku mendeteksi adanya pertanda-pertanda itu: aplikasi kencan yang tidak pernah dia hapus instalannya; tiadanya pernyataan hari resmi dengan alasan hubungan dewasa tidak memerlukan hal-hal semacam itu; tindakan-tindakannya yang mengesankan kalau aku wajib menerima tapi seolah dia ingin kompromi; sampai alfanya konsen dalam hubungan intim di awal.

Aku menggigit bibir dengan getir.

Kini dia malah menyalakan ponsel dengan menyetel volume yang bisa kudengar, seakan mencemooh tindakan berdiam diriku.

Entah.

Entah.

Entah.

Mau dibawa ke mana hubungan kami?

Post a Comment

0 Comments